“Bang Andy berani keluar dari Metro TV dan mengejar Lentera Jiwanya karena Bang Andy sudah mapan secara finansial. Tapi bagaimana dengan mereka yang jangankan untuk mengejar Lentera Jiwanya, untuk makan sehari-hari saja sudah setengah mati. Seandainya Bang Andy belum mapan, apakah Bang Andy juga berani keluar dari Metro TV untuk mengejar Lentera Jiwa Bang Andy?”

Itu salah satu komentar pembaca menanggapi tulisan saya “Lentera Jiwa” di Andy’s Corner beberapa waktu lalu. Komentar senada juga tak kalah banyak. Sebagian bahkan menganggap di jaman susah seperti sekarang ini, bisa mendapat pekerjaan saja sudah harus bersyukur. Boro-boro mengejar “Lentera Jiwa”.

Bayu, seorang anak muda yang bertugas di imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, setelah melihat nama di paspor saya wajahnya langsung berubah sumringah. Senyumnya melebar dan matanya menatap saya dengan pandangan berbinar-binar (setidaknya itu yang saya rasakan). Dia mengaku senang bertemu saya. Sebab, katanya, setelah membaca tulisan ‘Lentera Jiwa’, ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

“Saya ikut senang Pak Andy sudah menemukan Lentera. Cuma saya masih penasaran, apakah setiap orang akan menemukan lentera jiwanya?” Ujar Bayu penuh semangat. Dalam percakapan singkat saat ketika saya hendak ke Boston itu, Bayu bercerita dia membaca tulisan “Lentera Jiwa” yang saya tulis itu melalui milis yang dikirim ke alamat emailnya. Pertanyaan Bayu itu tidak sempat saya jawab. Saya sudah harus berangkat sementara dia juga sudah harus memeriksa paspor penumpang lain.

Di atas pesawat, pikiran saya masih terganggu oleh pertanyaan Bayu. Apakah setiap orang akan menemukan Lentera Jiwanya? Pertanyaan yang seakan mewakili pertanyaan banyak pembaca tulisan “Lentera Jiwa”. Memang, setelah tulisan itu saya muat di Andy’s Corner, entah siapa yang memulai, dalam tempo singkat tulisan tersebut beredar dari milis ke milis, ke berbagai alamat email, dan akhirnya berbalik ke saya melalui email, sms, bahkan facebook.

Tanggapan atas tulisan itu macam-macam. Sudut pandangnya juga berbeda-beda. Setiap orang memberikan tanggapan sesuai persepsi masing-masing. Sungguh menarik. Bahkan ketika saya menjadi tamu di sebuah radio di Kemang, yang mengangkat topik soal Lentera Jiwa, tanggapan yang masuk juga beraneka ragam.

Sebagian pendengar mengatakan dalam hal pekerjaan, mereka lebih mencari “aman” dengan menjadi karyawan di sebuah karena risikonya lebih kecil. Sementara pendengar lain mengaku lebih memilih berwirausaha daripada bekerja untuk orang dan tidak bahagia. Lentera jiwa oleh mereka dimaknai sangat sempit: Siapa yang bekerja untuk dirinya sendiri, merekalah yang sudah menemukan lentera jiwanya. Sementara mereka yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan, adalah mereka yang belum menemukan lentera jiwanya.


Menerjemahkan lentera jiwa secara sempit seperti itu sungguh menyesatkan. Lentera jiwa seseorang tidak ditentukan oleh apakah dia bekerja untuk orang lain sebagai karyawan atau bekerja untuk dirinya sendiri. Lentera jiwa seseorang juga tidak ditentukan oleh jabatan, pangkat, gaji, atau jenis pekerjaan. Siapa pun dia, apapun pangkatnya, jabatannya, dan apapun jenis pekerjaan serta berapa pun gajinya, dia bisa saja menemukan lentera jiwanya.

Pangkat tinggi, posisi di puncak, dan gaji besar bukan ukuran yang dipakai untuk menilai apakah seseorang sudah menemukan lentera jiwanya atau belum. Banyak yang yang memiliki kedudukan tinggi, gaji bedar, ternyata tidak bahagia dalam pekerjaannya. Kalaupun dia tetap bertahan, lebih karena faktor rasa aman, tidak berani mengambil risiko, atau sudah pada tahap “nrimo” atas nasibnya. Orang semacam ini belum menemukan lentera jiwanya.

Ukuran yang paling sederhana untuk mengukur apakah dalam bekerja, dalam berkarir, kita sudah menemukan lentera jiwa kita atau belum adalah kebahagiaan. Apakah dalam mengerjakan tugas kita sehari-hari kita bahagia? Tidak perduli apakah kita bekerja sebagai karyawan atau wirausaha, apakah kita bahagia? Tidak perduli gaji kita kecil atau besar, apakah kita senang mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita? Apakah kita mengerjakannya dengan hati atau sekadar demi mempertahankan hidup?

Suatu malam, menjelang toko-toko tutup di sebuah mega mall di Jakarta, saya ke toilet. Ruangannya bersih dan harum. Ada dua petugas cleaning service sedang bekerja. Mereka begitu ceria, begitu riang. Padahal di tengah malam itu hampir semua orang sudah kehabisan enerji. Kok mereka masih bersemangat? Karena penasaran, saya bertanya kepada mereka mengapa terlihat ceria. Bukankah pekerjaan membersihkan toilet pekerjaan yang tidak menyenangkan? Mereka balik menatap saya dengan pandangan aneh. “Kami senang kok mengerjakannya,” ujar salah satu dari mereka.

Beberapa hari kemudian, seorang pembaca Andy’s Corner memberi komentar tentang tulisan “Lentera Jiwa”. Isinya kurang lebih begini, “Pak Andy, saya bekerja sebagai office boy. Saya bahagia mengerjakan tugas-tugas saya karena saya bisa melayani orang lain. Saya sudah menemukan Lentera Jiwa saya”.

Dua kisah di atas mungkin bisa menunjukkan lentera jiwa itu bukan milik mereka yang berkedudukan tinggi atau bergaji besar. Jika Anda bekerja sebagai pegawai negeri dan Anda bahagia mengerjakan tugas-tugas Anda, dan pekerjaan itu sesuai dengan cita-cita Anda sewaktu sekolah dulu, boleh jadi Anda sudah menemukan lentera jiwa Anda. Begitu pula Anda yang keluar dari pekerjaan Anda sebagai karyawan, dan mengambil risiko meninggalkan kedudukan dan gaji tetap Anda, untuk merintis usaha yang Anda sukai dan ternyata membuat Anda bahagia , bisa jadi Anda juga sudah menemukan lentera jiwa Anda.

Kembali ke pertanyaan Bayu tadi, apakah setiap orang bisa menemukan lentera jiwanya? Jawabannya relatif. Ada yang sudah tahu lentera jiwanya ada di tempat lain, bukan di tempat dia bekerja sekarang, tetapi dia tidak berani atau tidak mampu menggapainya. Tidak mampu atau tidak berani karena risiko yang dihadapi terlalu tinggi. Boleh jadi karena dia harus memikirkan keluarga, anak, istri, atau suami. Memikirkan orang-orang yang secara finansial bergantung padanya. Jika dia meninggalkan pekerjaan yang sekarang untuk mengejar lentera jiwanya, bisa jadi dia bahagia tetapi orang lain tidak.

Ada juga yang sampai sejauh ini belum mengetahui secara persis apa lentera jiwanya. Dia belum menemukan pekerjaan apa yang dapat membuatnya bahagia dan bergairah untuk menjalaninya. Ada juga yang karena tidak ada pilihan. Sudah mendapat pekerjaan yang sekarang saja sudah patut disyukuri. Boro-boro mengejar lentera jiwanya.

Lentera jiwa bukan persoalan salah atau benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar di sini. Persoalannya hanya pada keinginan kita untuk mencari kebahagiaan sebagai manusia. Dalam hal ini konteksnya adalah pekerjaan dan karir. Namun untuk mencapai kebahagiaan tersebut kadang seseorang harus menempuh risiko.

Risiko itulah yang juga saya tempuh ketika harus memilih apakah bekerja untuk Majalah TEMPO yang sudah besar atau menjadi reporter di koran Bisnis Indonesia yang baru diterbitkan. Juga ketika memilih pindah ke Majalah MATRA justru pada saat karir saya di Bisnis Indonesia sedang menanjak pesat. Bukannya jantung istri saya tidak mau copot ketika saya memutuskan pindah dari MATRA, dalam posisi menuju pemimpin redaksi, ke harian Media Indonesia yang baru bangkit setelah harian Prioritas dibreidel.
Pada saat itu, jangan ditanya soal finansial. Secara finansial saya jauh dari mapan. Apalagi saya harus membantu kehidupan kakak-kakak saya. Tetapi ada sesuatu dalam hati ini yang selalu menganggu. Sesuatu yang terus mendorong saya untuk mendapatkan ‘’sesuatu’’. Sesuatu yang membuat saya merasa bahagia. Mungkin itu yang kini saya sadari , bahwa “sesuatu” itu adalah “Lentera Jiwa” saya.[kickandy]