Active Coma

Bismillahirrahmanirrahim
“Innallaha la Yughaiyiru ma bi Qoumin Hatta Yughaiyyiru ma bi Anfusihim”

Hingga saat ini mungkin kita masih banyak menemukan orang-orang di sekitar kita yang merasa mereka menjadi korban dari hidup hingga harus bertahan atau menderita dengan apa yang dihasilkan oleh lingkungan di sekitarnya. Menggerutu dan mengutuk karena hal-hal buruk yang sepenuhnya bukan di hasilkan oleh dirinya sendiri hingga akhirnya harus mencoba melawan penderitaan dan kesusahan yang tidak mereka sadari kalau sebenarnya mereka sendirilah yang membuat diri mereka menderita. Di tambah dengan kondisi yang kian memburuk, maka jumlah orang-orang seperti ini pun terus bertambah dan menghantui mereka yang sebenarnya sudah hidup nyaman, makmur, santai tapi masih takut kalau-kalau sutau hari nanti  mereka kehilangan segalanya yang mereka miliki.

Atau mungkin jangan-jangan kita adalah salah satu dari orang-orang di atas ?

Iya atau tidak jawabannya, yang jelas kita harus segera berhenti hidup dalam kelalaian/keteledoran dan mulai hidup dengan perencanaan “stop living by default and start live by design”. Karna itu untuk betul-betul memahami apa yang menghentikan dan menghadang kita dari menggunakan kemampuan potensial yang telah Allah berikan kepada kita, kita harus terlebih dahulu tahu seperti apa saja mereka yang hidup dalam keteledoran dan kelalaian itu dan mungkin kebanyakan dari kita malah hidup dalam kelalaian itu sendiri. Na’udzubillah !

Banyak contoh tapi untuk sederhananya yaitu mereka yang gagal untuk menjadikan hidup mereka seperti apa yang mereka inginkan dan mereka pun enggan untuk berbuat apa saja apalagi mengambil resiko untuk membuat sesuatu seperti yang diinginkan. Ok manusia hanya bisa berusaha dan Allah tetap yang menentukan. Disini kita punya pilihan, Be-rusaha atau Di-tentukan (well sebenarnya itu bukan murni sebuah pilihan) tapi bukankah kita sebagai manusia bertanggungjawab atas apa yang kita usahakan dan tidak untuk apa yang dihasilkan, Insyallah apa yang Allah tentukan sesuai dengan apa yang telah kita usahakan. Dan orang yang live by default juga cenderung menerima sesuatu apa adanya atau membiarkannya mengalir seperti air, dan ingat ya kalau air itu pasti mengalirnya ke bawah atau ke tempat yang lebih rendah. So, masih mau bilang “aah.. let it flow as water aja !”. Tawakkal memang baik dan di anjurkan tapi tidak sebelum berdo’a dan berusaha. Dan hidup dalam kelalaian yang paling mendasar menurut saya adalah orang yang selalu merasa dirinya terus-menerus hanya menjadi korban seperti di atas tadi.

I am 21 years young (old)


Akhirnya bulan ini datang juga, bulan Mei di 2010 adalah Mei yang ke-21 kalinya di hidupku dan selama itu pula aku tidak pernah merayakannya. Well, aku emang ngga tau kalau ada orang lain yang juga ngga pernah merayakan hari lahirnya, yang jelas aku tidak merayakannya bukan karna ngga mau atau males apalagi pelit (ngga sampai sejahat inilah) tapi karna memang sejak pertama aku ngga pernah punya sejarah untuk merayakannya yang akhirnya jadi kebiasaan sampai sekarang, ya paling-paling hanya cukup mengingat sekilas kalau aku itu lahirnya tanggal 8 bulan Mei tamabah senyum dikit, selesai ! seperti kentut yang bau sebentar abis itu ilang tanpa jejak hihihi.  “So why don’t you try change the history ?” biarin aja lah biar itu jadi catatan sejarahku kalau aku seumur hidup (insyAllah) ngga akan merayakan tanggal 8 Mei, kayaknya keren hehe . . !
Aku bisa ingat berapa ucapan selamat ulang tahun yang aku terima di tahunku yang ke-21 ini. 2 orang dari Indonesia mengirim lewat SMS dan meraka berurutan sebagai orang yang pertama dan kedua yang mengirimi aku ucapan selamat ulang tahun,  kemudian dari 700 sekian teman yang ada di akun Facebook-ku hanya 5 orang yang sadar dan memberi  ucapan selamat ulang tahun hehe…santae aja lah cuma facebook kok , dan di ID YM (Yahoo Messenger) nihil  tak ada satupun offline message, Blog apalagi ! yang memang baru launching sekitar seminggu yang lalu. Ini akhirnya membuktikan sekali lagi kalau aku sepertinya memang ngga akan merayakan hari ulang tahunku walau hanya dengan ucapan ”Selamat Ulang Tahun” . Well, aku juga tidak terlalu berharap untuk mendapat ucapan-ucapan seperti itu, yang penting mereka tetap ingat dan tidak lupa kalau aku adalah bagian dari hidup mereka, sebagai sahabat pastinya.  

Lentera Jiwa

“Bang Andy berani keluar dari Metro TV dan mengejar Lentera Jiwanya karena Bang Andy sudah mapan secara finansial. Tapi bagaimana dengan mereka yang jangankan untuk mengejar Lentera Jiwanya, untuk makan sehari-hari saja sudah setengah mati. Seandainya Bang Andy belum mapan, apakah Bang Andy juga berani keluar dari Metro TV untuk mengejar Lentera Jiwa Bang Andy?”

Itu salah satu komentar pembaca menanggapi tulisan saya “Lentera Jiwa” di Andy’s Corner beberapa waktu lalu. Komentar senada juga tak kalah banyak. Sebagian bahkan menganggap di jaman susah seperti sekarang ini, bisa mendapat pekerjaan saja sudah harus bersyukur. Boro-boro mengejar “Lentera Jiwa”.

Bayu, seorang anak muda yang bertugas di imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, setelah melihat nama di paspor saya wajahnya langsung berubah sumringah. Senyumnya melebar dan matanya menatap saya dengan pandangan berbinar-binar (setidaknya itu yang saya rasakan). Dia mengaku senang bertemu saya. Sebab, katanya, setelah membaca tulisan ‘Lentera Jiwa’, ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

“Saya ikut senang Pak Andy sudah menemukan Lentera. Cuma saya masih penasaran, apakah setiap orang akan menemukan lentera jiwanya?” Ujar Bayu penuh semangat. Dalam percakapan singkat saat ketika saya hendak ke Boston itu, Bayu bercerita dia membaca tulisan “Lentera Jiwa” yang saya tulis itu melalui milis yang dikirim ke alamat emailnya. Pertanyaan Bayu itu tidak sempat saya jawab. Saya sudah harus berangkat sementara dia juga sudah harus memeriksa paspor penumpang lain.

Di atas pesawat, pikiran saya masih terganggu oleh pertanyaan Bayu. Apakah setiap orang akan menemukan Lentera Jiwanya? Pertanyaan yang seakan mewakili pertanyaan banyak pembaca tulisan “Lentera Jiwa”. Memang, setelah tulisan itu saya muat di Andy’s Corner, entah siapa yang memulai, dalam tempo singkat tulisan tersebut beredar dari milis ke milis, ke berbagai alamat email, dan akhirnya berbalik ke saya melalui email, sms, bahkan facebook.

Tanggapan atas tulisan itu macam-macam. Sudut pandangnya juga berbeda-beda. Setiap orang memberikan tanggapan sesuai persepsi masing-masing. Sungguh menarik. Bahkan ketika saya menjadi tamu di sebuah radio di Kemang, yang mengangkat topik soal Lentera Jiwa, tanggapan yang masuk juga beraneka ragam.

Sebagian pendengar mengatakan dalam hal pekerjaan, mereka lebih mencari “aman” dengan menjadi karyawan di sebuah karena risikonya lebih kecil. Sementara pendengar lain mengaku lebih memilih berwirausaha daripada bekerja untuk orang dan tidak bahagia. Lentera jiwa oleh mereka dimaknai sangat sempit: Siapa yang bekerja untuk dirinya sendiri, merekalah yang sudah menemukan lentera jiwanya. Sementara mereka yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan, adalah mereka yang belum menemukan lentera jiwanya.